Nasehat


Pernikahan adalah hal yang sangat membahagiakan bagi semua orang yang akan menjalaninya. Tapi adakalanya persiapan menuju pernikahan itu justru menimbulkan masalah ditengah-tengah keluarga. Hal itulah yang saat ini tengah dialami seorang akhwat yang akan segera melangsungkan pernikahan. Beberapa hari yang lalu dia datang kerumah dengan wajah yang sedikit pucat.

“Ada apa ukh, kok lemes banget kayaknya. Ada masalah?”
Sambil tersenym dia mengatakn. “Khitbahnya insyaAllah tanggal 16, akad dan walimahnya 2 hari setelah khitbah.”
“Alhamdulillah akhirnya. Moga semua dimudahkan……”
“Tapi ada masalah dan masalah itu bikin ana stress.”
“Istighfar ukh, ga da masalah yang ga ada jalan keluarnya. Masalah apa sih?”
“Ana mau lansung dibawa ke tempat ikhwannya pas ikhwannya dateng khitbah, dan yang bikin ana kecewa, ide itu datengnya dari pihak ana. Ana cuman pengen bisa memberi contoh yang baik dimasyarakat tentang pernikahan yang islami.”
“Astaghfirullah… sabar ukh, insyaAllah akan ada jalan buat semua.”

Miris, sedih dan kecewa rasanya mendengar cerita itu. Dan kasus seperti ini bukan hanya kali ini saja terjadi, bahkan ada akhwat yang mengcut proses taaruf yang sudah hampir menuju khitbah ketika ia tau bahwa keluarga si ikhwan meminta ia untuk menikah dengan cara “dilarikan” bukan dengan dikhitbah (dilamar).

Mungkin sebagian orang ada yang bertanya “menikah dengan dilarikan? Gimana caranya?” atau sekedar komentar “kok bisa gitu sih?” Dan bagi saya itu bukan pertanyaan yang aneh karena beberapa orang temanpun pernah bertanya seperti itu. Di daerah saya (lombok) menikah dengan melarikan seorang gadis disebut dengan istiah “merariq”. Ini adalah adapt istiadat masyarakan suku sasak yang merupakan suku asli di pulau lombok.
Pada awal mulanya ternyata “merarik” merupakan tradisi dari masyarakat di pulau Bali, tapi wallahua’lam bagaimana prosesnya sampai akhirnya adat menjadi adat bagi masyarakan suku sasak di pulau lombok. Bahkan ada dalam sebuah tulisan yang mengatakan bahwa menikah dengan cara melarikan seorang wanita seperti ini merupakan salah satu cara untuk menunjukkan kejantanan seorang laki-laki, dimana sifat jantan ini merupakan simbolisasi dari sosok seorang suami yang bertanggung jawab, pemberani dan tangguh.
Apakah hanya dengan membawa lari seorang perempuan di malam hari bisa dikatakan bahwa seorang laki-laki itu jantan, pemberani, bertanggun jawab dan tangguh? (apa hubungannya???)

Islam telah dengan sangat tegas mengatakan untuk tidak mendekati perbuatan zina. Seperti firman Allah dalam surat Al-Isra’ ayat 32 yang artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. MDan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. (QS. 17:32)enjaga diri kita dari orang yang bukan muhrim kita. Lalu bagaimana jika seorang gadis menikah dengan cara dibawa lari? Bukankah laki-laki dan perempuan yang “merariq” itu bukan muhrim yang tentunya akan menjadi dosa besar jika mereka berdua-duaan tanpa ada muhrim yang bersama mereka?
Dalam salah satu haditsnya Rasulullah saw bersabda (yang artinya) :
“Siapa beriamn kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia bersembunyi sepi berduaan dengan wanita yang tidak didampingi muhrimnya, sebab bila demikian setanlah yang menjadi pihak ketiganya.” (H.R. Ahmad).

Lalu bagaimana jika hal ini terjadi pada seorang akhwat yang memiliki pemahaman agama dan ingin memulai sebuah ibadah dengan cara yang benar? Di satu sisi itu adalah tuntutan orang tua bahkan mungkin keluarga besarnya, tapi di sisi lain hal itu bertentangan dengan ajaran islam tentang pergaulan laki-laki dan perempuan yang sangat menjaga agar tidak terjadi ikhtilat.

Seorang akhwat pernah berkata “kalau kita kawin lari lalu bagaimana pandangan masyarakat yang selama ini menilai kita sebagai orang yang sangat menjaga diri dan pergaulan kita dengan lawan jenis, bahkan mungkin kita pernah ngisi kajian di temapt mereka? Bukannya itu malah akan menghambat dakwah kita, akan menjadi bumerang bagi kita sendiri nantinya?”

Mungkin semua yang terjadi ini merupakan gambaran bahwa masih kurangnya dakwah kita di lingkungan keluarga kita. Kita terkadang begitu sibuk mendakwahi orang lain tapi kita sedikit lupa akan keluarga kita sendiri. Dan dakwah itupun tidak harus dengan kata-kata (karena itulah tantangan terbesar ketika kita ingin berdakwah dalam keluarga). Banyak buku-buku yang bisa kita jadikan referensi untuk dibaca orang tua kita khususnya tentang proses pernikahan yang islami, bahkan mungkin kita bisa mengajak orang tua kita untuk menghadiri acara waliatul ursy agar lebih mudah memberikan gambaran kepada orang tua kita.


Intinya adalah komunikasi dan pendekatan dengan cara yang ikhsan dengan orang tua kita. Tentunya komunikasi ini akan lebih baik jika kita lakukan jauh-jauh hari sebelum keluarga ikhwan datang mengkhitbah agar keluarga kita khususnya orang tua memanahi konsep pernikahan yang kita inginkan.

Wallahua’lam.